Jumat, 03 April 2009

lo shu

Kisah Lo-Shu dan Plato

Plato tampak meronta-ronta. Tidak biasa ia gelisah hari ini. Ia menaiki dinding transparan yang sudah lama menjadi rumahnya. Disampingnya Lo-Shu yang agak lebih tua diam saja disampingnya Plato dan Lo-Shu memang bertetangga. Mereka menempati satu rumah mungil yang dindingnya transparan...............


Beberapa hiasan dari koral dan fosil kerang laut menghiasi dasar rumah mungil mereka yang digenangi air.
Selama ini mereka sebenarnya adem ayem saja dalam ketenangannya masing-masing. Kalau sudah diam begitu, mereka bagaikan dua pertapa yang sudah berada di alam surgawi. Sepanjang hari mereka hanya memandang alam semesta di luar mereka acuh tak acuh.

Plato lebih kecil tubuhnya dibandingkan Lo-shu. Usianyapun kira-kira terpaut beberapa hari lah. Disamping kedua rumah mereka, tinggal rumah transparan yang lebih besar tiga kali lipat. Disitu tinggal Aristoteles, yang sering berputar-putar dan berlarian menikmati kehidupanya yang bersahaja.

Lo-Shu dan Plato adalah bulus atau kura-kura mungil yang bentuk kulitnya dihiasi dengan pola-pola geometris yang alamiah. Aristoteles adalah seekor ikan mungil yang hanya bisa berenang dan berputar-putar disitu-situ saja di dalam toples akuariumnya.

Biasanya, sebelum ngantor saya selalu menggoda Lo-shu dan Plato supaya kepalanya nongol dikit. Kalau dipikir-pikir kepala Lo-shu dan Plato ini memang mirip “anu gitu loh”. Tapi, gak usahlah saya sebutkan nanti malah bikin heboh hehehe dan dibilang parno…

Seringkali kuamati Lo-shu dan Plato dengan seksama dan membayangkan kalau pola-pola geometrik di cangkang dan tubuh Lo-shu dan Plato itu mungkin mulai terbentuk jutaan tahun yang lalu. Kira-kira, sekitar masa ketika nenek moyang mereka mulai merasakan efek langsung gelombang elektromagnetik matahari yang menyengat permukaan Bumi.

Pola yang khas itu nampaknya merupakan pola yang hanya dimiliki oleh spesies mereka saja. Lukisan alam yang unik dan menunjukkan bagaimana kemampuan spesies kura-kura bertahan selama jutaan tahun dengan tato alamiahnya.

Karena Tato dipunggung kura-kura pula, dulu, konon menurut sahibul hikayat dari negeri China, seorang pertapa naturalis bernama Lo-Shu menemukan pola-pola geometrik ajaib dari kura-kura di sungai Kuning. Konon pula, menurut kisahnya, kura-kura dengan pola ajaib ditemukam Lo-shu sewaktu air sungai Kuning meluap. Harap maklum Sungai Kuning di China
melegenda karena kebiasaan banjir dan kura-kura ajaib temuan Lo-Shu itu. Dan begitulah, aku pun menamai kura-kura yang agak besar dan nampak lebih tua itu dengan nama Lo-shu.

Menurut riwayat dari
China, Lo-shu dengan kura-kura ajaibnya kemudian mengembangkan sistem hitungan yang dapat digunakan sebagai cara meramalkan keadaan alam. Selanjutnya, ia mengembangkan pola aritmatika ajaib yang sekarang dikenal sebagai Magic Square Lo-Shu. Dengan Magic Square itulah bangsa China mengembangkan cikal bakal ilmu pengetahuan China kuno yang menjadi cikal bakal Pengetahuan Kebijaksaan I-Ching dan Feng Shui. Sampai sekarang, Magic Square Lo-Shu menjadi materi kajian para ahli matematika, baik hanya sebagai rekreasi matematis maupun untuk membedah konstruksi matematisnya. Ribuan tahun setelah penemuannya itu, Magic Square Lo-shu melegenda ke seluruh dunia dan dijadikan perangkat numerologis untuk meramalkan kehidupan, khususnya yang berhubungan dengan keberuntungan dan kerugian, hari baik dan buruk, kimia unsur, dan berbagai aplikasi praktis lainnya.

Plato, lain lagi ceritanya. Kura-kura kedua yang lebih mungil dari Lo-shu itu nampak lebih lincah dan brangasan. Setidaknya, belakangan ini ia meronta terus seperti mau keluar dari kurungan plastiknya. Semua kupikir ia kebanyakan air, sehingga kepalanya selalu nongol ke permukaan. Belakangan, ketahuan dia memang mencoba membebaskan diri dari kurungan plastiknya.

Tapi, namanya kura-kura, tentunya susah sekali merambat di atas dinding plastik trasparan yang licin. Nama Plato kunisbahkan kepada kura-kura kecil ini karena aku ingat tokoh filsuf yang membuat kisah metafora negeri Atlantis sebagai Dunia Yang Hilang yang menjadi sumber awal pengetahuan manusia masa kini. Jadi, saya kemudian memasangkan nama Plato dan Lo-shu ini kepada kedua kura-kura piaraan itu supaya klop saja. Setidaknya, Lo-shu mewakili dunia Timur dan Plato mewakili dunia Barat.

Sesekali, aku mengeluarkan keduanya dari kandang. Lalu kugebah-gebah supaya jalan barengan. Tapi memang dasar kura-kura, kugebah-gebah malah tenang-tenang saja. Bukannya saling berlomba malah saling bengong. Pikirku, mungkin mereka lagi setengah bingung setelah dikeluarkan dari kandangnya dan merambat diatas lantai licin. Tapi,pelan-pelan, mereka akhirnya berjalan namun jalannya sekarep sendiri.

Aku seringkali membayangkan, apa yang dipikirkan kura-kura ketika memandang dunia. Apa mirip dengan manusia dengan nafsunya atau malah lebih arif. Pernah satu kali aku mencoba melihat konstruksi bentuk cangkangnya yang unik. Dari situ kubuatlah hitungan jumlah jambleh sampai akhirnya menemukan pola-pola bilangan dasar yang membangun sistem hitungan dasar desimal yang kita kenal hari ini.

Aku tercengang dan akhirnya tertawa geli dengan hasilnya. Jangan – jangan moyang orang
China dulu yang bernama Lo-shu lah yang kemudian membuat tafsir atas kehidupan yang sekarang menjadi dasar-dasar pengetahuan lahir maupun batin kita. Wah, kalau begitu realitas pengetahuan manusia tak lebih dari realitas yang menjembatani pandangan kura-kura dengan keadaan sesungguhnya. Weleh, kalau gitu fungsi manusia pun hanya menjadi perantara saja bagi kura-kura, yaitu untuk menterjemahkan realitas kehidupan di luar kolamnya. Saya jadi geli, apa iya memang begitu ya?...............

Sambil melihat Lo-shu dan Plato didalam rumah plastiknya, saya lantas membayangkan kalau alam semesta ternyata berada diatas punggung kura-kura seperti Lo-shu dan Plato itu.
ha...ha...ha....


1 komentar: